“Lokasi belajar boleh di kampung,
tapi standar tidak boleh kampungan”
(Anies Baswedan)
Ada dorongan kuat pada diri saya,
“Saya harus menjadi ayah sekaligus guru bagi mereka!”
Tak terbayang bagaimana perasaan Farhan (bukan nama sebenarnya) yang hampir tiga belas tahun tidak bertemu dengan bapaknya. Ditinggalkan begitu saja ketika ia berusia beberapa bulan saja di dunia. Jelas-jelas diabaikan.
Atau Yanto, anak kelas enam yang belum fasih membaca abjad. Saat ini tinggal bersama kakek neneknya yang pemulung. Ditinggal mati bapaknya karenaa tertabrak kereta api.
Karena anak-anaklah saya lebih memantaskan diri untuk menjadi guru kampung saja. Tentunya menjadi guru kampung yang nggak kampungan. Mengasuh dan mendidik dengan mengolaborasikan pembelajaran kreatif dan pengimbang zaman.
Sangat disadari, saya sudah muak kalau harus berurusan dengan birokrasi yang pintar main ‘game’ offline. Banyak sekali permainan yang berpedoman “uang adalah segalanya”.
Ah, rasanya saya pengin cepat-cepat hengkang saja jadi guru formal.
Sok idealis. Benar. Idealis untuk masalah seperti ini sangat wajar bagi orang seperti saya. Yang tak mau ikut ke dalam lingkaran setan. Toh, masih banyak rezeki di luar sana. Jadi trainer, misalnya. Yang penting tidak jauh dengan dunia pendidikan. Karena pendidik sudah menjadi passion bagi saya. Apalagi yang menguatkan, ayah saya seorang pendidik juga.
Guru Kampung yang Nggak Kampungan. Kenapa nggak?
1 Komentar
Betul pak, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Semangat untuk menginspirasi!
BalasHapusJika Anda memetik manfaat dari blog Guru Muda ini, segera BAGIKAN kepada anggota keluarga, sahabat Anda.
Agar mereka juga mendapat manfaat yang sama.
Hatur nuhun.