Do’a Emak Mengantarku seperti Uwa Haji | Fiksi Edukasi

GURUMUDA.WEB.ID - Baru beberapa hari saja aku tinggal di pondok, bukannya wajah bapak tak menghampiri, tapi raut muka Emak yang selalu menyelinap-nyelinap di ujung mata hati ini. 

ngabajigur


Aku langsung bergegas ke kobong lantai dua, untuk sekedar melampiaskan kerinduan pada Emak. Aku tak malu menangis di sini walau kutahan rintihan biar santri yang lain tak mendengarnya.

    “Kenapa, Zi?” suara di balik jendela mengagetkanku. Abdul. Lengkapnya Abdul Malik.

    “Kau ingat ibumu?” kembali ia bertanya kedua kalinya.

    Aku hanya diam. Kuseka air mata dengan sorban yang telah basah, karena tidak sebentar aku mengalirkan butiran bening di mata ini. Abdul adalah teman santri pertama yang aku kenal. 
 
Karena ia yang mengantar ke rumah Kyai dan mengurus pendaftaranku mondok di pesantren ini. 

    “Kau tahu, aku sejak pertama kali ke sini tak jauh dengan kau. Padahal waktu itu aku sudah berumur 20 tahun. Tapi, ya itulah.. aku seperti anak kecil yang merengek-rengek ketika pertama kalinya aku harus meninggalkan orang tua. Yang kuingat hanyalah dosa-dosaku sama  ibu,” hiburnya.

    Ternyata Abdul lebih parah lagi, ia menangis selama seminggu ketika awal-awal menginjakkan di pesantren Nurul Hidayah ini. Bahkan ia meminta sama Kyai untuk menelepon ibunya supaya dijemput.
    Alhamdulillah, tiga hari di pesantren aku bisa mengendalikan diri, untuk tidak mengingat Emak. 
Pelajaran berbagai fan/dispilin ilmu; nahwu sharaf, fikih, tauhid, perwarisan, sampai tajwid  mengalihkan rasa kerinduanku pada Emak. 

Sekarang teman-teman santri dari berbagai daerah yang mengisi hari-hariku di sini. Ada yang di Majalengka, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Bandung, Subang. Tapi kebanyakan santri berasal di kota ini sendiri, Sumedang. 

***

    Tak terasa aku berada di pondok ini sudah empat puluh hari, itu tandanya aku diperbolehkan untuk pulang beberapa hari. Karena aturan di sini, diperbolehkannya santri pulang harus melewati empat puluh hari. Itu pun buat santri baru seperti aku. 

    “Assalamu’alaikum…,” sengaja kubuat suara menjadi agak bass. Biar agak berwibawa. Belum ada yang menjawab di dalam rumah sana, padahal uluk salamku sudah mau ketiga kalinya. Apa aku harus pulang lagi, karena begitulah adab-adabannya bertamu. Untung ini rumahku, aku langsung masuk saja. Tadinya aku mau ngasih surprise sama Emak.

    “Mak, aku datang!” panggilku sedikit berteriak. Rumah sepi.yang kudengar suara batuk di kamar Emak. Apa Emak sakit?
 

 
    “Mak…,” kuraih tangan Emak yang sedang lemas. Kuciumi terus-terus. Aku rindu, Mak.

    “Gimana kabarmu, Zi? Di sana kamu makan sama apa? Kamu betah kan?” tanya Emak membredel padaku. Aku mencoba menghibur Emak untuk menutupi kekhawatirannya.

    “Alhamdulillah, Mak. Di sana aku betah. Betah karena aku butuh ilmu agama. Sudah lama aku mencita-citakan bisa memperdalam ilmu di pesantren. Aku ingin meneruskan perjuangan Uwa Haji,” aku coba menjelaskan dengan sebijak-bijaknya. Emak tahu kalau Uwa Haji, kakak dari bapak adalah seorang Kyai terpandang di daerah Cikoneng, Ciamis. 

    “Tapi di sini sama, Zi. Kamu bisa mengaji ke Ustad Nuridwan atau Kang Miftah, tak usah jauh-jauh segala. Tak ada yang memijiti Emak malam-malam kalau penyakit Emak tiba-tiba kambuh,” 

    Aku merasa iba dengan Emak, penyakit menahunnya tak kunjung sembuh. Padahal sudah berapa banyak mantri didatangkan. Mungkin Allah belum menakdirkan Emak untuk sembuh secepatnya.

    “Iya, Mak. Mengaji itu semua sama. Namun, berkahnya yang beda. Emak tahu sendiri bagaimana keberkahan yang telah Gusti Allah berikan sama Kyai Fakhruddin, guru Uzi, itulah sebabnya kenapa Uzi jauh-jauh menimba ilmu pada beliau,” jelasku pada Emak. Semoga saja Emak mengerti.

    “Baiklah kalau itu maumu, Emak hanya bisa mendoakan itikad baikmu. Emak yakin kau bisa seperti Uwa haji,” Emak mendoakanku seraya mengangkatkan tangannya.

***

    Enam tahun sudah aku dalam pencarian ilmu di pesantren, sebenarnya itu belumlah cukup menjadi syarat seorang santri untuk bermukim kembali ke kampung halamannya. Masih banyak yang harus di gali dan di kaji.

    Namun yang kurasakan saat ini, keberkahan dari berkhidmah kepada guru, juga kekuatan do’a Emak sehingga kini aku dipercaya mengasuh anak-anak juga mengajak masyarakat untuk meluhurkan agama Allah ini. 

    Benarlah adanya bahwa do’a orang tua pada anak adalah do’a yang sangat ampuh dan mustajab.

*Kobong    : asrama atau tempat tinggal santri di pesantren
* Mantri    : dokter kampung (istilah yang dipakai oleh masyarakat Jawa Barat)

0 Komentar

Jika Anda memetik manfaat dari blog Guru Muda ini, segera BAGIKAN kepada anggota keluarga, sahabat Anda.
Agar mereka juga mendapat manfaat yang sama.

Hatur nuhun.